Malam dan Kekasihku
Oleh : Nurul Mutmainnah
Bagi penyuka malam, temuilah aku di sini, di rumahku, agar aku punya teman untuk begadang. Akan kuajak kau melihat taman bintang yang indah.
Aku serius. Di sini malam terasa berbeda ketika kita mencoba menikmatinya dengan secangkir kopi dan buku-buku, apalagi denganmu. Malam yang hening dan damai saat orang-orang seperti kompak bersama-sama menuju alam mimpi, kecuali aku. Kadang kala kubayangkan malam di tempat lain dengan kebisingannya , malam yang terang benderang dan berpelangi, lalu gadis kecil berlari di bawahnya dengan riang. Malam, rerumputan yang basah karena embun dan pepohonan di sekitar gadis kecil berkilauan oleh cahaya bulan dan pelangi.
Di sini, malam selalu hening dan hampir tak ada keramaian. Sesekali saja terdengar bunyi kendaraan lewat dengan pelan seakan berhati-hati membelah aspal depan rumah saat orang-orang terlelap.
Ketika malam datang, aku paling suka duduk di depan rak buku yang tak seberapa banyaknya sambil mataku mencari-cari judul yang menarik. Tak lupa kusediakan beberapa snack dan secangkir kopi untuk menemani. Kurasakan kedamaian saat menghirup wangi kopi dan kelapangan dalam tiap teguknya lalu mata ini pura-pura fokus membaca isi buku. Kenyataannya, aku tidak sedang membaca. Saat seteguk kopi melapangkan perasaanku, pikiran ini hanya tertuju pada malam di luar rumah. Malam yang hening dan dinginnya yang mendamaikan.
Bagi sebagian orang, malam adalah bahaya; sesuatu yang menakutkan. Mereka menafsirkannya seperti itu. Ada banyak hal yang bagi mereka patut diwaspadai dari gulita dan heningnya malam. Bagiku, malam adalah tempat awal terciptanya banyak mimpi dan kenangan yang indah. Bahkan pernah aku membayangkan malam sebagai tempat dan waktu yang tepat untuk menggapai mimpi dan ‘kebebasan.’ Kebebasan yang benar-benar telanjang, yang tersimpan kenikmatan di dalamnya. Malam, debar-debar dada perempuan dan bibir merah merekah. Malam adalah surga.
Aku pernah mengungkapkan gambaran tersebut kepada seorang kenalan namun dia mengejekku sambil bertanya, “Bukankah seharusnya malam itu adalah waktu untuk beristirahat? Mengapa kau bandingkan dengan perempuan telanjang? Kau ini mengada-ada! Kau adalah perempuan dan tidak semestinya berfikir aneh seperti itu. Sekotor apapun imajinasi, harusnya tak sampai ke situ. Kau masih waras kan?”
“Begitu ya?" Kataku.
Dia hanya tertawa, lalu dengan gaya mengejeknya berkata, “Kamu ini terlalu naif. Sok puitis, tapi kok tidak faham hal yang mudah seperti itu.”
“Aku tidak bermaksud bergaya seperti yang kau maksudkan. Aku hanya mengungkapkan apa yang kufikirkan.”
Dia tersenyum, senyuman jahat. Agar aku tidak berfikir bahwa ia terlalu jahat, aku tidak pernah lagi mengungkapkan apa saja yang ada dalam benakku sebagai apa yang dia istilahkan ‘imajinasi kotor. Anehnya, setelah percakapan kami, dia menjadi lebih sering ingin tahu soal malam di sini dan pikiranku tentang malam lewat aplikasi percakapan daring. Aku hanya menjawab asal-asalan dan dia banyak protes.
Protes itu ia lontarkan dalam obrolan via pesan daring. Saat senja perlahan akan lenyap, menandakan berakhirnya sebuah hari dan malam akan hadir sebentar lagi. Gelap yang cerah akan hadir, perkiraanku akan lebih cerah dari matahari. Nanti.
“Dulu kau sering bercerita tentang malam. Kau bilang malam indahlah, cantiklah, begini dan seperti itu. Sekarang mana ceritamu itu? Apa sudah musnah kesukaanmu pada malam sekarang?”
Sadis sekali pertanyaannya.
“Aku masih suka malam, seperti dulu.”
“Lalu?”
“Aku hanya malas bercerita padamu. Kalau ingin tahu, kenapa tidak keluar rumah saat malam dan nikmati lalu simpulkan sendiri apa kau akan memutuskan suka malam sepertiku atau biasa saja.”
“Hum.”
“Salahmu bertanya soal malam saat masih senja.”
“Oh, iya. Masih senja sekarang.”
“Ya.”
“Ya sudah. Selamat menikmati senja!”
Sejak itu, kami mulai jarang saling mengabari. Mungkin dia sibuk. Aku pun sibuk juga. Apalagi aku sudah punya kekasih yang hadir di sini membunuh sepiku, membuatku hampir melupakan kenalanku yang menyebalkan itu. Aku bahkan tak pernah berniat mengabarinya lagi.
Kebiasaanku menikmati malam masih belum berubah, bahkan menjadi lebih sering dengan seorang kekasih. Namun aku rindu menikmati malam saat sedang sendiri sementara kekasihku hanya ingin berduaan denganku setiap malam menjelang. Aku lalu mencari berbagai alasan agar ia tak datang saat malam. Sudah kurencanakan malam yang indah untuk sendirian. Kifikir dia akan faham atau tak akan cemburu sebab dia sudah tahu kalau aku terlampau menyukai malam.
“Besok malam aku akan sibuk. Tolong jangan ke sini.”
Aku mencoba mengatur kata-kataku agar ia tidak tersinggung.
“Memangnya kau mau kemana?”
Pertanyaannya bernada kecurigaan. Sementara aku berfikir, aku sudah siap untuk jawaban pertanyaan selanjutnya.
“Sebenarnya aku rindu ingin sendiri saja di rumah. Kita kan hampir setiap malam bertemu dan aku ingin kau biarkan aku sendirian besok malam.”
“Apakah aku pernah melarangmu untuk menikmati malammu?”
“Tidak pernah.”
Aku menggeleng pelan, tak berani menatap wajahnya.
“Lalu apa bedanya jika menikmati malam bersamaku dengan sendirian saja?”
Pertanyaan yang menyelidik. Aku mulai gagap karena kebingungan harus menjawab apa lagi.
“Aku hanya ingin menikmati malamku sendirian.”
“Aku tak bisa mengizinkanmu! Lagi pula kau selama ini kan terbiasa kesepian. Pastilah lebih nyaman dan aman denganku yang akan selalu menemanimu. Bukankah begitu?”
“Ya ….”
Aku terpaksa mengalah. Dia kekasihku dan dia juga penyuka malam. Kupikir kami cocok satu sama lain karena kesukaan kami yang sama tentang malam. Aku memutuskan tak apa jika kadang-kadang ia berlagak sedikit mengekangku. Itu tandanya ia kekasih yang peduli.
***
Cerita tentang malam dan kesendirianku itu hanya dulu, sebelum hadir yang namanya kekasih dalam hidupku.
Pada awal-awal pertemuan, aku sejenak lupa kenikmatan akan malam-malamku yang sendirian. Aku sejenak lupa wangi kopi dan bau buku-buku. Malam-malamku selanjutnya hanya dipenuhi euforia dan bau aneh tubuh lelaki yang telah menjadi kekasihku ini. Tiap malam kami habiskan waktu dengan liar dan penuh gairah. Kami menciptakan kenikmatan yang paling nikmat dari apapun. Itu saja yang selalu dan selalu terjadi hingga ia menghilang dari sisiku sebelum hadirnya pagi. Lalu aku akan terbangun dengan tubuh telanjang dan raut yang kelelahan serta bau peluh yang memuakkan.
Suatu pagi saat aku terbangun dan menemukan tubuh telanjangku terkapar sendirian di ranjang, aku berfikir apa yang kulakukan amatlah menyedihkan. Gairah apa jika setelah selesai selalu mebuat tubuh ini lemas? Aku mulai tidak menyukai kebiasaan menikmati malam dengan kekasihku. Aku bangkit membawa tubuh lemasku duduk di depan jendela, memandangi matahari yang bersinar cerah. Sambil memandangi cahaya matahari, aku membayangkan masa laluku yang selalu sendirian dan kuhabiskan untuk menikmati malam yang indah dan telanjang. Aku benar-benar ingin mengulang kenanganku dengan malam dan hanya sendirian.
Tiba-tiba ada yang mendehem di belakangku. Jantungku nyaris copot. Aku secepatnya menoleh.
“Kau sedang membayangkan apa?” Tanyanya lembut.
Ternyata kekasihku. Aku hanya diam dan memandanginya. Tatapannya yang teduh, senyumnya yang indah, aku terpana. Aku merasa seperti baru kali ini aku melihatnya di siang hari, Kekasihku yang tampan.
“Pakai selimut sayang.” Ia menyerahkan selimut padaku. Aku baru sadar kalau aku tak memakai apapun dan aku baru sadar kalau kami sudah menikah ketika ia memeluk dan melilitkan selimut kepadaku. Aneh sekali. Mungkin karena aku terlalu mencintai dan merindukan malamku yang sendirian hingga aku lupa jika kekasihku ini sama tampannya dengan malam. Sejak itu, aku memutuskan untuk tidak lagi terlalu sering mengenang nikmatnya kesendirianku dengan malam. Aku berusaha membuka hati dengannya dan tak keberatan untuk berbagi malam yang nikmat bersama—bersama kekasihku yang tampan.
Buton Selatan, 16 April 2017
*Sumber Foto Pinterest
COMMENTS