Puisi dan Kebhinekaan yang Tenggelam
Oleh : --V
Menurut pembelaan beliau, katanya, (-katanya nih ya), Ia cuman berperan sebagai budayawati yang menggambarkan realitas sosial di Indonesia dengan menyelami, dan menghayati ibu-ibu di daerah lain seperti di Indonesia timur dan bali yang tidak mengerti "syariat".
Oke, di sini saya mulai sedikit paham dengan maksud baik beliau, namun sepertinya beliau membawa sesuatu ke panggung yang memang tidak perlu menjadi perumpamaan pada sebuah puisi di negara tercinta yang " sensitif " ini. Loh kok sensitif? Lah emang iya. Nyebut masalah ini, didemo seantero jagad. Nyebut masalah sara, diprotes keras sampe disumpah serapah. Bahas masalah budaya, masih banyak yang berpikiran dangkal terus bikin problem sendiri dari hal itu lalu dijadikan objek pertengkaran publik. Wah, sungguh terkesan " damai sekali " negara ini di mata saya dari dalam.
Coba kalo misalnya si Ibu membahas :
" Lebih merdu dari alunan puji-pujianmu di hari minggu "
Atau
" Lebih cantik dari kepang samping berbunga dirimu "
Atau
" Lebih merdu dari suara petasan merah menyalamu "
Apa akan ada yang protes? Apa ada, yang akan menyumpah serapah beliau? Apa ada yang kemudian "baperan" lalu ngadu ke ulama atau pemuka-pemuka agama? Apa ada? No!!.
Segelintir orang seperti kami, yang posisinya di tempatkan hanya sebagai pelengkap negara, yang hanya boleh protes kalau soal lain dan bukan tentang siapa kami dan atau di mana kami saat "syariat" kami disinggung, tidak memungkinkan kami ngomong. Kenapa? Oh, jelas saja karena hegemoni masyarakat tentang agama siapa paling benar adalah yang punya pengikut terbanyak, dan bukan pada yang tetap taat dan tidak goyah saat beberapa iblis mencoba menghancurkan kebhinekaan dari dalam.
Di mana bunyi " KeTuhanan yang Maha Esa " saat itu? Ada kok, ada. Cuma, kelihatannya hanya sebagai hafalan fondasi negara belaka, dan obat penenang ketika republik ini mau merdeka lalu di ubah pernyataan pertamanya agar yang lain tidak tersinggung (dulu).
Dulu kami sangat diperhitungkan loh. Bahkan banyak di antara kami yang jadi pahlawan juga. Namun seiring waktu, terlupakan dengan banyak revolusi-revolusi mutakhir nan hebat, problema negara yang tak kunjung selesai, korupsi di mana-mana, bahkan saat saya menulis ini pasti ada penggelapan dana atau sisihan dana diam-diam terjadi selagi kita mempersoalkan isu ini.
Jujur, saya sebenarnya gak pernah ada ketertarikan sama sesuatu yang bersinggungan dengan agama, karena saya sendiri juga netral kalo masalah agama. Dan pengetahuan saya pun sangat-sangat sedikit sebagai mahasiswi semester 4 jurusan sastra asing di fakultas ilmu budaya.
Untuk itu tolong, tolong sekali lagi, kembalikan kebhinekaan yang terpecah di bumi pertiwi ini. Kalian tau caranya, kalian mengerti caranya, tetapi kalian tidak mau peduli. Peduli lah sedikit, sebelum kita kembali di jajah pelan-pelan oleh keserakahan dan perpecahan. Ingatlah bahwa Indonesia punya kebhinekaan yang istimewa, yang tidak di miliki negara manapun.
Kembalilah bersatu, kuatkan ikatan persaudaraan masing-masing, kita masih harus menghadapi lebih banyak dari ini. Kuatlah, Indonesia.
3 Maret-2018)
COMMENTS