Pemutaran Film Istirahatlah Kata Kata
(Sebuah Tinjauan Populer Culture)
Oleh : Ria Raya Lisdayanti
Kehadiran Indielogis vol. IV mencetak sejarah baru dengan melakukan pemutaran film Istirahatlah kata-kata di gedung Pariwisata Kota Kendari. Film ini kemudian ditonton oleh ratusan remaja dan pegiat seni serta sastrawan se-Kota Kendari. Meskipun sebenarnya masih banyak juga remaja yang kurang tertarik dengan kegiatan ini. Masih banyak yang lebih memilih nonton di bioskop, padahal harga tiket yang harus dibeli lebih mahal dari harga tiket film ini.
Memang, pada dasarnya nonton di bioskop lebih kelihatan berkelas. Tempat yang memadai dan layar serta kualitas gambar lebih baik dibandingkan layar tancap dalam sebuah gedung. Nonton di bioskop juga akan kelihatan lebih bergengsi tanpa disadari bahwa dia telah masuk dalam budaya populer. Lebih, parahnya lagi tidak sadar bahwa populer itu merupakan budaya massa yang nota bene-nya adalah masyarakat kelas rendah.
Tapi, saya tidak ingin berbicara soal pembagian kelas. Saya hanya ingin membahas tentang apa yang didapatkan dari film tersebut. Beberapa waktu lalu bahkan sampai sekarang, film Dilan menjadi film yang kerap kali diperbincangkan oleh masyarakat luas. Film ini ditayangkan di bioskop yang ada di seluruh Indonesia tanpa terkecuali di Kendari. Saya tidak tahu pasti berapa jumlah penonton film Dilan di Kendari. Tapi, saya bisa pastikan kalau jumlah penontonnya lebih banyak bahkan jauh lebih banyak dari film “Istirahatlah Kata-kata”.
Padahal, jika kita meninjau lebih dalam tentang isi film Istirahatlah Kata-kata ini, tentunya sangat wajib di tonton oleh semua kalangan masyarakat khususnya remaja. Terdapat banyak pesan yang tersirat di dalamnya. Apalagi bagi kaum muda yang kerap kali melakukan demonstrasi di jalanan yang panas dan memegang microphone lalu berteriak kesana kemari. Dia tidak sadar jika teriakannya itu bisa membuat pita suaranya rusak dan panas matahari bisa membuatnya demam. Menonton film ini saya sadar, bahwa tulisan lebih menakutkan dibandingkan sebuah teriakan.
Bukti nyatanya terdapat dalam film ini. Dalam film ini menceritakan perjalanan sosok Widji Thukul yang pada akhirnya menghilang dan tidak diketahui dimana keberadaannya sampai sekarang. Widji Thukul merupakan sosok yang dicari oleh abdi Negara baik itu Tentara, Polisi bahkan Intel, sehingga ia harus berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya. Ia dianggap sebagai orang yang berbahaya kala itu.
Widji Thukul bukan seorang preman, bukan seorang politisi bahkan bukan seorang teroris. Ia hanya orang biasa, sosok yang pendiam dan peduli terhadap apa yang terjadi di negerinya. Ia tidak turun di lapangan untuk melakukan pemberontakan. Ia tidak berangkat mengebom istana Negara, tidak juga mencuri uang Negara. Tapi, ia dicari dan diperlakukan layaknya buronan. Widji Thukul hanya seorang penulis. Ia menuliskan kepelikan Negara-nya dalam bentuk puisi dan itu dianggap pemberontakan dan dianggap sangat berbahaya. Akan tetapi, ditengah pengejaran dan persembunyian Widji Thukul, ia tidak jerah untuk menulis. Setiap kesempatan ia gunakan untuk menuliskan sebuah puisi.
Dari kisah inilah saya dapat menyimpulkan betapa berbahayanya sebuah tulisan. Saya bahkan berfikir betapa kerennya jika para aktifis menerapkan hal yang serupa dengan yang dilakukan oleh Widji Thukul. Saya membayangkan jika semua aktifis menulis puisi kritis maka, akan banyak yang menjadi aktifis yang cerdas dan berkompeten. Selain ia menjalankan tugasnya untuk mengkritik penyimpangan yang ada di lingkungannya ia juga akan mencipkatan sebuah karya yang akan dibaca oleh banyak orang bahkan akan sampai pada orang yang dikritiknya. Bukan tidak mungkin, gerakan orasi ditengah jalan dengan microphone tidak akan terdengar pada sosok yang dikritiknya.
Beberapa teman saya bertanya kepada saya, mengapa film ini tidak ditayangkan di bioskop? Saya sempat kebingungan. Tapi, saya kemudian bertanya pada diri saya sendiri. Mungkinkah film ini akan diterima oleh pihak bioskop? Sementara, film ini termasuk film yang bergenre adiluhung dan berisi kritik sosial. Jika harga tiket 15.000 saja hanya sedikit yang minati bagaimana dengan harga tiket yang lebih mahal lagi.
Saya tidak begitu yakin akan mendapat perhatian dari pihak bioskop sendiri. Karena pihak bioskop akan mempertimbangkan kebutuhan pasar. Sementara film ini, tidak begitu mendarah daging dengan pasar karena kebanyakan rata-rata pasar membutuhkan tontonan yang bersifat romantis, petualangan, misteri dan sebagainya. Tetapi, film ini lebih kepada sejarah dan dokumenter yang mengandung banyak pesan didalamnya. Meskipun menurut saya film ini mengandung unsur misteri. Misteri akan hilangnya Widji Tukul. Siapa yang tahu dimana keberadaannya dan siapa yang menculiknya?
Sebenarnya, jika dilihat dari percakapan, tidak begitu banyak kata-kata yang diucapkan. Hanya terdapat banyak gerakan dan puisi. Tapi, inilah yang menjadi keunikan film ini. Terdapat banyak makna dari gerakan-gerakan dan puisi tersebut. Namun, tidak benyak pula orang yang bisa memahami makna dan pesan yang dimaksud. Termasuk saya sendiri. Butuh analisis yang dalam untuk menangkap setiap pesannya. Sedari tadi saya hanya membahas sosok Widji Thukul tanpa menengok sosok lain yang ada dalam film tersebut terutama sosok istri.
Jika Widji Thukul melakukan perjuangan atas hidup dan matinya maka sang isteri pun juga tak lain seorang pejuang. Sosok isteri Widji Thukul harus bertahan selama bertahun-tahun tanpa sosok suami. Ia bahkan harus rela melawan rasa takut atas penyelidikan demi penyelidikan yang dilakukan oleh sejumlah aparat keamanan Negara. Harus melawan siksa batinnya atas cibiran-cibiran yang dilakukan terhadapnya. Ia seorang perempuan yang kuat. Ia bahkan tidak berfikir untuk meninggalkan Widji Thukul sekalipun suaminya menjadi seorang buronan. Ia seorang yang rela menahan sakit hatinya ditinggalkan suaminya asalkan suaminya tetap ada.
Sosok wanita yang sangat inspiratif. Itu yang saya juluki untuk sosok istri Widji Thukul. Tidak banyak perempuan yang mampu bertahan ditengah kepelikan seperti. Belum lagi ia harus merawat anaknya sendirian. Bertahan dengan ribuan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menyayat hatinya sendiri. Bahkan teman pun bisa menjadi lawan. Sekiranya itu yang bisa saya gambarkan mengenai hasil analisis saya setelah menonton film Istirahatlah Kata-kata.
Saya punya harapan besar untuk genre film semacam ini diproduksi lebih banyak. Bahkan saya berharap film ini ditayangkan di bioskop-bioskop yang ada. Jika saja seluruh pemuda dan pemudi di Indonesia mau untuk mengeksplor dan menjadikan film-film semacam ini sebagai bahan konsumsinya, pasti akan jauh lebih baik. Tetapi, sekiranya saat ini sudah mulai banyak komunitas-komunitas yang positif yang dapat membangun karakter dan kreatifitas seorang remaja. Seperti, Rumah Bunyi Book Store yang merupakan salah satu komunitas literasi yang ada di Kendari sekaligus sponsor dalam pemutaran film ini. Komunitas kreatif lainnya yang juga menjadi sponsor ada Rumah Andakara, Ganda Gong Theater, Wiber, Indie Kendari, Idea Project, Munational, Komik, Pena UHO, Partisipasi Indonesia dan masih banyak lagi.
COMMENTS