Reportase...
Kendari dan Hari Buku Sedunia
Minggu pagi, Kota Kendari sangat ramai dan riuh. Padat dengan orang orang yang sedang merayakan hari ulang tahun provinsi ini, Sulawesi Tenggara. Pemerintah provinsi menggelar ekspo dan jalan sehat (santai), dan saya menduga acara ini dihadiri ribuan orang dari berbagai kalangan. Masyarakat tumpah ruah di jalanan, begitu banyak yang merayakan kegembiraan ini. Keriuhan dan kegembiraan ini berpusat di Tugu Religi dan Kompleks Eks MTQ.
Hari ini juga merupakan perayaan Buku sedunia. Belasan komunitas Literasi, pustaka, kelompok kesenian, penggerak budaya,serta gerakan sosial ( sebut saja Gerakan Kendari mengajar, Turun tangan Kendari, sastra muda Kendari) dan komunitas lainnya menggelar beberapa acara termasuk festival buku yang dipusatkan di taman kota Kendari.
Ratusan bahkan mungkin ribuan buku buku dipamerkan oleh berbagai komunitas tersebut. Puluhan puisi dibacakan oleh penyair dan pembaca puisi secara bergantian. Puluhan lagu yang dinyanyikan, ada banyak warna musik yang diputar, ada begitu banyak semangat dan karya yang dipentaskan secara bergantian.
Buku buku yang ditulis oleh penulis yang berasal dari kota Kendari atau Sulawesi Tenggara pada umumnya yang diperkenalkan kepada para pengunjung. Saya sengaja memilih dan menggunakan kata "memperkenalkan", sebab dengan nyata buku buku yang ditulis oleh penulis yang berasal dari kota ini tidak banyak diketahui, atau tidak pernah dibaca oleh orang orang yang bermukim di kota ini. Kota yang tidak mengenali buku dan penulis yang berasal dari daerahnya sendiri.
Kenyataan inilah yang mengantarkan inisiatif untuk menggelar sebuah diskusi dengan tema "perkembangan buku buku dan penulis yang berasal dari Sulawesi Tenggara". Diskusi ini dimoderatori oleh saya sendiri, yang menjadi pemantik adalah Ahid Hidayat, seorang akademisi dan juga penulis buku.
Sebagai pengantar, saya menyebutkan dan meminta respon kepada seluruh komunitas dan peserta diskusi, tentang nama nama dan judul buku yang telah diterbitkan atau ditulis oleh para penulis Sulawesi Tenggara. Fakta pun terkuak, bahwa tidak banyak yang mengenal atau mengetahui penulis atau buku buku yang telah diterbitkan di kota ini.
Pemantik dalam diskusi pun menggambarkan bahwa kenyataan pahit atas apresiasi kita terhadap dunia kepenulisan dan membaca adalah sebuah kecelakaan sejarah. Pada aspek lain, Lembaga yang harusnya menjadi payung dan mengarahkan dunia literasi seolah tidak mengambil peran yang maksimal. Sebut saja kampus atau lembaga pendidikan lainnya. Peran peran strategis itu tidak dilakukan secara maksimal, ada ketimpangan antara karya dan apresiasi terhadap karya itu sendiri.
Berulang ulang pemantik diskusi ini menekankan lemahnya kesadaran menulis dan membaca yang dimiliki oleh generasi. Pemantik juga menggambarkan tentang nikmatnya menulis, hidup dari menulis atau bagaimana tulisan bisa menghidupi penulis itu jika dilakukan secara serius dan profesional.
Saat sedang berdiskusi, bergabunglah kepala/dinas perpustakaan wilayah. Pemaparan Ahid Hidayat menjadi terpotong saat sedang serius dan berapi api menjelaskan pengalamannya saat menggeluti kepenulisan.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh kepala perpustakaan wilayah untuk memaparkan berbagai agenda kedinasan menyoal buku buku yang masih kurang didistribusikan ke daerah daerah, terutama ke pelosok pelosok desa. Ada kenyataan yang lebih pahit lagi, bahwa negara dalam hal ini perpustakaan wilayah tidak memiliki banyak koleksi buku buku yang ditulis oleh penulis dan menuliskan tentang Sulawesi Tenggara secara umum. Ada masalah yang sangat krusial tentang lemahnya kehadiran negara dalam memberikan kontribusi terhadap literasi di daerah ini.
Setelah pemaparan itu, disertai beberapa masukan dari Ahid Hidayat dan lainnya. Ahid Hidayat kembali memberikan pernyataan penutup yang sangat konstruktif, saya menyebutnya demikian karena saya selaku moderator memang meminta Ahid melakukannya. Menulis adalah tentang keabadian,bukan untuk sekedar dikenal tapi untuk menjadi lintasan antar sejarah dan peradaban. Menulis adalah tanggung jawab kita bersama, demikianlah Ahid Hidayat mengakhiri diskusi ini.
Kenyataan lain, bahwa minimnya ruang membaca, ruang menulis dan ruang berdiskusi di kota ini juga berdampak pada minimnya apresiasi terhadap penulis dan buku buku yang telah ada. Dan ini adalah tanggung jawab kita bersama.
Rumah Bunyi,
24 April 2017
Kendari dan Hari Buku Sedunia
Minggu pagi, Kota Kendari sangat ramai dan riuh. Padat dengan orang orang yang sedang merayakan hari ulang tahun provinsi ini, Sulawesi Tenggara. Pemerintah provinsi menggelar ekspo dan jalan sehat (santai), dan saya menduga acara ini dihadiri ribuan orang dari berbagai kalangan. Masyarakat tumpah ruah di jalanan, begitu banyak yang merayakan kegembiraan ini. Keriuhan dan kegembiraan ini berpusat di Tugu Religi dan Kompleks Eks MTQ.
Hari ini juga merupakan perayaan Buku sedunia. Belasan komunitas Literasi, pustaka, kelompok kesenian, penggerak budaya,serta gerakan sosial ( sebut saja Gerakan Kendari mengajar, Turun tangan Kendari, sastra muda Kendari) dan komunitas lainnya menggelar beberapa acara termasuk festival buku yang dipusatkan di taman kota Kendari.
Ratusan bahkan mungkin ribuan buku buku dipamerkan oleh berbagai komunitas tersebut. Puluhan puisi dibacakan oleh penyair dan pembaca puisi secara bergantian. Puluhan lagu yang dinyanyikan, ada banyak warna musik yang diputar, ada begitu banyak semangat dan karya yang dipentaskan secara bergantian.
Buku buku yang ditulis oleh penulis yang berasal dari kota Kendari atau Sulawesi Tenggara pada umumnya yang diperkenalkan kepada para pengunjung. Saya sengaja memilih dan menggunakan kata "memperkenalkan", sebab dengan nyata buku buku yang ditulis oleh penulis yang berasal dari kota ini tidak banyak diketahui, atau tidak pernah dibaca oleh orang orang yang bermukim di kota ini. Kota yang tidak mengenali buku dan penulis yang berasal dari daerahnya sendiri.
Kenyataan inilah yang mengantarkan inisiatif untuk menggelar sebuah diskusi dengan tema "perkembangan buku buku dan penulis yang berasal dari Sulawesi Tenggara". Diskusi ini dimoderatori oleh saya sendiri, yang menjadi pemantik adalah Ahid Hidayat, seorang akademisi dan juga penulis buku.
Sebagai pengantar, saya menyebutkan dan meminta respon kepada seluruh komunitas dan peserta diskusi, tentang nama nama dan judul buku yang telah diterbitkan atau ditulis oleh para penulis Sulawesi Tenggara. Fakta pun terkuak, bahwa tidak banyak yang mengenal atau mengetahui penulis atau buku buku yang telah diterbitkan di kota ini.
Pemantik dalam diskusi pun menggambarkan bahwa kenyataan pahit atas apresiasi kita terhadap dunia kepenulisan dan membaca adalah sebuah kecelakaan sejarah. Pada aspek lain, Lembaga yang harusnya menjadi payung dan mengarahkan dunia literasi seolah tidak mengambil peran yang maksimal. Sebut saja kampus atau lembaga pendidikan lainnya. Peran peran strategis itu tidak dilakukan secara maksimal, ada ketimpangan antara karya dan apresiasi terhadap karya itu sendiri.
Berulang ulang pemantik diskusi ini menekankan lemahnya kesadaran menulis dan membaca yang dimiliki oleh generasi. Pemantik juga menggambarkan tentang nikmatnya menulis, hidup dari menulis atau bagaimana tulisan bisa menghidupi penulis itu jika dilakukan secara serius dan profesional.
Saat sedang berdiskusi, bergabunglah kepala/dinas perpustakaan wilayah. Pemaparan Ahid Hidayat menjadi terpotong saat sedang serius dan berapi api menjelaskan pengalamannya saat menggeluti kepenulisan.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh kepala perpustakaan wilayah untuk memaparkan berbagai agenda kedinasan menyoal buku buku yang masih kurang didistribusikan ke daerah daerah, terutama ke pelosok pelosok desa. Ada kenyataan yang lebih pahit lagi, bahwa negara dalam hal ini perpustakaan wilayah tidak memiliki banyak koleksi buku buku yang ditulis oleh penulis dan menuliskan tentang Sulawesi Tenggara secara umum. Ada masalah yang sangat krusial tentang lemahnya kehadiran negara dalam memberikan kontribusi terhadap literasi di daerah ini.
Setelah pemaparan itu, disertai beberapa masukan dari Ahid Hidayat dan lainnya. Ahid Hidayat kembali memberikan pernyataan penutup yang sangat konstruktif, saya menyebutnya demikian karena saya selaku moderator memang meminta Ahid melakukannya. Menulis adalah tentang keabadian,bukan untuk sekedar dikenal tapi untuk menjadi lintasan antar sejarah dan peradaban. Menulis adalah tanggung jawab kita bersama, demikianlah Ahid Hidayat mengakhiri diskusi ini.
Kenyataan lain, bahwa minimnya ruang membaca, ruang menulis dan ruang berdiskusi di kota ini juga berdampak pada minimnya apresiasi terhadap penulis dan buku buku yang telah ada. Dan ini adalah tanggung jawab kita bersama.
Rumah Bunyi,
24 April 2017
COMMENTS