Urgensi Belajar dan Memahami Sebelum Berkomentar Apa Itu Puisi
Oleh : Ahmad Muthahier
"Saat orang-orang yang jauh dari sastra lebih cepat berkomentar tentang puisi dari pada kritikus sastra, maka di sanalah ia terpenggal dan tertikam"
- Memet Nalwi
Sebelum kita berlarut dari perdebatan hangat tentang issu sara yang lahir dari mulut ibu Sukmawati, mari sejenak belajar menilai sebuah puisi. Perlu kita sadari bahwa sungguh tidak tepat untuk menilai puisi secara dikotomis bagus-buruk, sebab cara itu cenderung subyektif dan memperlihatkan fanatisme yang berlebihan terhadap salah satu bentuk puisi yang ditulis. Padahal setiap puisi memiliki tempat dan nilai tersendiri. Dari sudut pandang tertentu, sebuah puisi mungkin tidak memenuhi kriteria yang diajukan, tetapi tidak mustahil juga bahwa puisi itu memperlihatkan banyak keunikan ketika ditelaah dari sudut pandang yang lain.
Penilaian secara dikotomis bagus-buruk sesungguhnya merupakan suatu kesalahan metodologi yang digunakan. Kalau kita mengukur panjang suatu benda, kita harus menggunakan ukuran meter, sentimeter dan sejenisnya. Demikian pula saat kita mengukur berat suatu benda kita menggunakan ukuran gram, kilogram, ton dan sejenisnya. Jika ukuran itu salah diterapkan, hasil akhir pengukuran pun menjadi tidak relevan, tidak tepat.
Maka penilaian berdasarkan bagus-buruk dalam puisi sebaiknya dihindari saja, sebab akan memboroskan energi dan menimbulkan polemik berkepanjangan. Selain itu juga tidak mustahil akan menyebabkan sakit hati pada penyair yang mendapat klaim yang tidak menguntungkan.
Setiap puisi mempunyai tempat tersendiri. Artinya setiap puisi sesungguhnya diciptakan dengan tujuan yang sudah tertentukan. Dengan demikian setiap puisi juga memiliki fungsi yang khas. Bukan hanya puisi-puisi yang rumit, absurd, implisit dan sejenisnya yang dianggap paling penting. Puisi-puisi yang hanya menyuguhkan satu aspek saja dari sekian aspek pun memiliki fungsi tersendiri.
Misalnya, sebuah puisi hanya menyajikan aspek keindahan bahasanya saja, yang hanya mengandalkan unsur ritme serta efek simbol bahasa. Itu pun memiliki arti penting. Jangan langsung dilecehkan begitu saja. Puisi yang menonjolkan aspek keindahan harus dinikmati dalam rangka enjoyment.
Apresiasi kita terhadap puisi semacam itu bukan dengan menggunakan kerangka pemikiran (frame of mind). Yang kita cari dalam puisi semacam itu bukanlah nilai-nilai filsafatnya, bukan juga mencari korelasi dengan sistem kultur/kebudayaan tertentu. Puisi juga berhak dinikmati atas nama kenikmatan saja.
Memang sudah sejak lama, banyak kritikus puisi mengimbau agar puisi lebih berbicara mengenai filsafat atau psikologi agar puisi lebih berbicara dengan akal atau pikiran daripada dengan perasaan. Imbauan itu sebenarnya tidak lebih daripada suatu idealisasi belaka.
Mereka yang mengimbau demikian berasumsi bahwa puisi, sebagai karya sastra, harus berjalan sesuai dengan irama perkembangan jaman. Karena perkembangan jaman cenderung mengarah kepada pendewaan ilmu dan rasio, menurut idealisasi itu puisi juga harus ikut menyesuaikan diri pula.
Tetapi, semua harus dikembalikan lagi kepada proses kreatif sang penyair. Proses penciptaan puisi adalah persoalan yang sangat individualistik. Tidak seorang pun tahu proses lahirnya sebuah puisi. Bahkan sang penyair sendiri pun seringkali tidak mampu menguraikan kembali bagaimana puisi-puisinya lahir.
Proses penciptaan puisi adalah mekanisme yang sangat kompleks dalam diri individu, yang melibatkan berbagai hal dan suasana. Jadi pada dasarnya tidak ada puisi yang buruk karena setiap puisi punya pesan dan kekhasannya sesuai dengan maksud serta proses kreatif penulisnya. Jadi, jika kita memperdebatkan sesuatu yang menjadi bahan perdebatan maka akan terlihat kecakapan debat seseorang dari cara mendebatnya.
IBU SUKMAWATI MEMANG SEDANG BERPUISI, IA BERCERITA DARI HATINYA YANG MEMANG JAUH DARI ISLAM, LALU MEMBUAT PERBANDINGAN NASIONAL DARI KACAMATA RABUNNYA UNTUK MELUKAI SELURUH UMMAT ISLAM...
COMMENTS