Drama Pilkades : Politik dan Superioritas Perempuan
Oleh Kahar Muda Daeng Tulolo
Sabtu, 7 April 2018, masyarakat Kota Kendari disuguhkan sebuah pertunjukan teater dengan penggarapan yang terbilang serius. Melibatkan lebih dari dua puluh orang pemain. Pementasan ini dapat dikategorikan Teater Kolosal. Pementasan dimulai tepat pada Pukul 20.00, meski rencana awalnya berdasarkan publikasi dan tiketing, pentas akan dimulai pukul 19.30.
Adegan pembuka, menampilkan sepasang kekasih_Sorume yang diperankan Hardita Hatta dan La Seno oleh Topan Mega Bayu_tampak larut memadu kasih. Keduanya, terpesona pada kisah cinta mereka; kekuatan cinta yang terbangun dari alas konflik dan pertentangan status, hingga getir dan tragedi yang harus mereka lewati untuk mewujudkan hubungan tersebut. La Seno mengantar penonton membandingkan antara kisah cintanya dan kisah cinta Cleopatra dan Julius Caesar yang remeh. Sebagai penonton, rasanya saya hendak menginterupsi, pada bagian mana keremehan itu? Usia kisahnya ataukah getir dan perjuangan yang dilakukan oleh salah satu di antara mereka? Pertanyaan ini saya simpan dalam hati.
Babak pertama pada drama komedi ini, merupakan awal yang menentukan dan benar benar menghantarkan ke babak babak selanjutnya. Jika saja, tak ada yang melihat perbuatan tersembunyi mereka_sorume dan La Seno di kebun pepaya, maka pertunjukan dan naskah ini menjadi "kering", tak memiliki konflik. Mowuro_pembantu kepala desa, ayah sorume adalah juru kunci dalam pertunjukan ini, meski bukan sebagai tokoh utama yang ditonjolkan. Informasi yang diketahuinya_percumbuan Sorume dan Laseno, adalah awal dari kisah tersebut.
Penonton Adalah Pemain
Secara umum, pementasan ini sukses menjadikan penonton sebagai penonton, dan penonton sebagai pemain. Dengan kondisi Amphitheater Taman kota Kendari yang cukup luas terbuka, saya menyaksikan penonton yang berdesakan, penyelenggaraannya sukses menggaet dan menghadirkan penonton yang berbayar. Tentu tak mudah dilaksanakan jika tidak dibarengi dengan manajemen yang baik. Saya mencatat, setidaknya ada 3 babak, yang melibatkan penonton secara langsung.
Sebagai Genre Komedi, Pilkades juga menitipkan beberapa percakapan antar pemain yang memang untuk memancing tawa dan respon penonton. Selain gestur sebagai gerak visual yang memang salah satu kekuatan drama komedi, Ketika penonton meledak dan tertawa, maka di sanalah letak keterlibatan penonton atas pertunjukan drama komedi. Saya penasaran, apa jadinya jika tidak ada yang tertawa ketika tokoh (Subastio, Pembantu Ketua Adat) memasuki panggung pertunjukan? Melihat orang cacat di panggung pertunjukan komedi responnya akan berbeda jika menyaksikannya di perempatan lampu merah. Apakah tertawa itu pantas? Mari kita sesuaikan konteksnya.
Mogok Seks Sebagai Kekuatan Politik
Ada frasa yang tergolong langka, yang bisa kita temukan pada drama komedi Pilkades ini, Ketika Seks (Persetubuhan legal) beberapa kali direproduksi oleh antar pemain. Kata seks memang bukanlah hal yang tabu dalam panggung pertunjukan, maupun naskah drama atau teks teks sastra lainnya. Namun ketika dikombinasikan dengan kata mogok, hal ini kemudian menjadi momok yang menakutkan sebagai kekuatan politik untuk mempengaruhi kebijakan.
Sartina (Wa Ode Nuriman), yang mengemukakan frasa ini dalam pertunjukan tersebut. Mogok seks adalah langkah protes yang dilakukan oleh "kaum perempuan". Kekuatan "Mogok Seks" atau pemogokan ini ditampilkan sebagai sebuah "cara baru" dalam mengintervensi kebijakan. Bagaimana tidak, seorang ketua adat dan sekaligus pemuka agama, harus dengan tegas menyampaikan kepada istrinya yang sedang mogok dan ikut melakukan pemogokan massal, mengatakan bahwa ketua Adat juga Manusia. Ketika ketua adat, pada akhirnya mengambil posisi keberpihakan pada petahana yang memiliki potensi menang lebih besar, istri kepala desa berteriak, menyeru ke pelaku mogok untuk berhenti mogok, sebab kekuatan Adat/agama telah bersama dengan mereka. Maka berhentilah Mereka pada upaya pemogokannya.
Ketua Adat dan pemuka agama itu juga takluk dan takut pada sastra, pada teks teks sastra yang ditunggangi oleh kekuasaan, kekuatan politik dan “pedagang” Sastra: Takut namanya hitam pada puisi. Takut pada perilaku dan peristiwa seksualitas yang dipublikasikan melalui sastra.
Apakah seks hanya dibutuhkan sepihak oleh Kaum laki laki? Hal ini yang menjadi pertanyaan kritis bagi pertunjukan tersebut. Penggambaran tentang "memetik" buah pepaya dengan satu tangan atau dengan dua tangan, adalah teka teki. Namun jika hal tersebut adalah analogi yang sengaja dimaksudkan untuk melebarkan ambiguitas, tentu ada bagian dari naskah dan pertunjukan Pilkades ini menjadi "wajah ganda" yang cacat secara logika bahasa.
Sastra dan Politik
Secara umum, ada tiga fungsi sastra yang mendasar. Yaitu, sebagai edukasi, terapi, dan hiburan. Pilkades yang dipentaskan tersebut sepertinya telah memenuhi atau bahkan melampaui ketiganya. Naskah tersebut, tetap menampilkan atau membawa empirisme ke atas panggung, tidak menjauhkan dan membuat jarak antara realitas dan imajinasi. Cara sutradara ataupun penulis naskahnya mengoreksi realitas sosial ke dalam naskah sastra harus dipahami sebagai sebuah cara untuk menghidupkan naskah yang dipentaskan. Seperti apa yang disinggungnya, tentang penyair salon yang menjauhkan dirinya dari sosialitas, yang asyik beronani dengan semiotika/ambiguitas romantisme teks teks sastranya. Meski tak dapat dipungkiri bahwa ada yang disebut sebagai art for art.
Naskah Pilkades yang dipentaskan oleh GandaGong Teater, menghadirkan sastra, politik dan kebudayaan dalam satu polemik secara sekaligus. Kinoho (pantun Tolaki) dibenturkan dengan Kantola (syair Muna). Sepertinya, politisasi dan konflik dalam kesusastraan kontemporer juga menjadi bagian yang diangkat dalam pertunjukan ini, tentang Puisi Essai yang mengklaim kebaruan genre dan angkatannya. Dalam pertunjukan tersebut, digambarkan tentang Kantola yang diramu dan dicampur aduk dari estetika Soneta dan balada, yang kemudian melahirkan Kantola Genre baru. Dengan penegasan yang menggantung, dikatakannya "mengenai genre baru ini, tidak usah terlalu diributkan, sebab redaktur FB pasti akan memuat tulisan tulisan tersebut" mungkin ini dimaksudkan sebagai rekonsiliasi dan perdamaian antara pihak pihak yang berseteru. Pilihan teks dari penulis naskah pilkades ini patut “dicurigai”.
Sastra, memang alat paling ampuh untuk mengoreksi kekuasaan hingga masyarakat. Di sisi lain, sastra juga dapat dijadikan alat politik untuk mengintervensi kekuasaan. Bahkan, sastra juga tidak bisa melepaskan dirinya dengan politik sastra itu sendiri. Sastra yang berpolitik atau sastra yang dipolitisir. Tentang politisasi sastra, ada dua kemungkinan yang mampu menjadi pemenangnya, yang pertama adalah yang memiliki kuasa modal untuk membeli kekuasaan serta tulisan tulisan sastra, dan yang kedua adalah sastra yang hidup dan lahir bersama dengan masyarakat. Makanya kemudian, menghadirkan teks sastra ke dalam pertunjukan adalah upaya untuk mempertegas keberpihakannya.
***
Tulisan ini didedikasikan untuk Ainayya Dheepa Aisyahida, penonton termuda yang ikut bermain dalam drama komedi pilkades, dengan lengkingan suaranya yang terdengar hingga back stage.
Rumah Bunyi,
8-9 April 2018
#Tulisan ini pernah dimuat pada Harian Rakyat Sultra, kerjasama dengan Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara, Edisi tanggal 16 April 2018.
#Tulisan ini pernah dimuat pada Harian Rakyat Sultra, kerjasama dengan Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara, Edisi tanggal 16 April 2018.
COMMENTS