Kesadaran Berkomunitas untuk Sadar Identitas:
Catatan Perjalanan Literasi ke Indonesia Timur
Oleh : Cucum Cantini
Sekitar pertengahan tahun 2017 yang lalu, saya bertemu pertama kali dengan Bang Kahar. Saat itu, lapak buku miliknya di acara seminar sastra di Unhalu menarik saya untuk melihat-lihat tumpukan buku yang dipajang. Ironisnya, saya dan Bang Kahar mendiskusikan kesusastraan di luar ruangan seminar, dan jujur saja kala itu, diskusinya lebih menarik. Setelah itu, Bang Kahar mengajak saya untuk berkenalan dengan geliat kesusastraan di Kendari.
Sama seperti daerah-daerah lainnya, Kendari juga memiliki ketersendatan dalam gerakan literasi. Tak jauh berbeda dengan di Pulau Jawa, kesusastraan hanya meriah dari luarnya saja. Itupun yang memeriahkan hanyalah kalangan sastrawan dan akademisi tertentu. Di dalam komunitas-komunitas sastra, banyak tumbuh gap-gap yang didasarkan ketidaksamaan gagasan. Hal tersebut adalah hal yang wajar terjadi dalam sebuah kegiatan berkomunitas.
Komunitas Rumah Bunyi menjadi satu momentum adanya harapan tumbuh-kembangnya kesusastraan di Kendari. Bagi saya pribadi, syarat terciptanya sebuah masyarakat maju adalah adanya hasrat untuk membangun gerakan kecil dari sebuah komunitas. Seperti halnya usaha Mingke dalam menggerakan kaum pribumi dengan merangkul semua golongan pribumi. Dan bercermin dari kisah itupun, komunitas akan mengalami kemajuan dalam perkembangannya, namun akan mengalami kemunduran dalam visi dan misi ketika sudah ada intervensi politis di dalamnya.
Kembali kepada komunitas sastra, hal yang paling penting dalam gerakannya adalah terjalinnya harmoni antara akademisi dan seniman/sastrawan. Keduanya, sangatlah penting. Seniman mempertahankan sastra dan seni, sementara akademisi mengawasi keseimbangan dan memberikan kritik yang mampu mengembangkan sekaligus mempertahankan sebuah budaya yang dibangun oleh seniman. Dan komunitas, sekali lagi, menjadi media bagi keduanya.
Sayangnya, salah satu kemacetan yang dialami kesusastraan dewasa ini adalah terciptanya komunitas yang dibangun masing-masing oposisi; kaum akademik membangun forum diskusi; seniman membangun komunitas seni. Dan keduanya saling melakukan perlawanan dengan egosime dan idealismenya masing-masing.
Di suatu hari saat itu, saya diminta oleh mahasiswa-mahasiswa sastra di Kendari untuk memberikan saran atas karya ilmiah yang sedang mereka kerjakan. Saya tersentak ketika menemukan beberapa mahasiswa yang memilih novel-novel luar etnis mereka. Dan sayapun menyarankan untuk memfokuskan kajian yang lebih mengedepankan isu etnis mereka. Salah satu alasan yang dilontarkan adalah banyak penulis Sulawesi Tenggara yang sangat Jawasentris, metropolis, atau sangat ‘kebarat-baratan’.
Saya kemudian berbagi pemahaman pada mahasiswa-mahasiswa tersebut untuk sadar dengan posisi mereka sebagai pengkritik sastra. Posisi mahasiswa sastra adalah KRITIKUS SASTRA! Sekali lagi saya mengingatkan. Jika banyak seniman yang tidak menunjukkan identitas dirinya, maka yang harus bergerak pertama untuk mengkritiknya adalah para akademisi, yakni mahasiswa sastra.
Kritikus sastra adalah bagian dari akademisi. Yang menstabilkan seni dan kesusastraan di sekitarnya. Banyak mahasiswa yang tidak paham dengan posisi mereka sebagai mahasiswa. Dan kembali saya ingatkan, bahwa hanya dalam komunitas sastra kesadaran itu terbentuk. Karena dalam sebuah wilayah, bukan hanya saat ada kegiatan literasi dan budaya maka harapan sastra daerah itu eksis, bukan pula adanya jurusan sastra di universitas untuk menguatkan budaya dan sastra. Tetapi juga adanya kesadaran untuk berkomunitas, berdiskusi antara akademisi dan seniman.
Terakhir yang saya coba ingatkan kepada Bang Kahar waktu itu, adalah rangkullah akademisi dan seniman di Komunitas Rumah Bunyi. Jika keduanya bisa melangkah bersama, hanya dalam waktu sepuluh tahun, kesusastraan di Kendari bisa menemukan identitasnya yang kuat.
Cucum Cantini. Lahir di Bandung, tinggal Yogyakarta. Saat ini aktif sebagai Tim Riset di PKKH UGM (Purna-Budaya) dan bersama salah satu kawannya, membangun gerakan komunitas penulis remaja, Rafflesia Writer Community, di Bengkulu. Sebagai kegiatan sampingan, kuliah di Ilmu-ilmu Humaniora UGM. Bisa disapa di akun sos-mednya: cantinisme@facebook.com
COMMENTS